Pelukan
Ibu...
Jamal menatap ibunya dengan wajah sendu, namun ibunya bergeming.
Jamal pun ikut terdiam. Ia bingung mau bicara apa dengan ibu yang
terakhir menemuinya lima bulan lalu. Ibu terlalu sibuk untuk menjenguknya.
Bahkan, dua bulan ini rapor mid-term diambil oleh sekertaris ibu yang wajahnya
mirip dengan ibunya itu.
Jamal teringat, dua bulan lalu ia menjerit senang ketika dari kejauhan
ia melihat sosok ibunya memasuki kelasnya, saat itu ia sedang bermain basket
dilapangan, namun, sampai tengah hari ia masih terus bermain basket sendirian,
sementara sebagian besar temanya sudah pulang dengan ibu, ayah atau keluarga
yang menjemput. Itu bukan ibunya. Jamal pasrah, ibu parti tidak akan datang
menjemputnya.
Masih terekam juga dalam benak jamal, ibunya
yang sibuk itu sering lupa untuk menelpon ke asrama.
Ibu janji akan menelpon pukul 4 sore.
Jamal sudah bersiap dari siang. Ia menyusun kata-kata yang akan ia sampaikan.
Ada 10 hal yang ia catat, namun kemudian ia menyusun ulang daftar tersebut agar
tidak terlalu panjang. Ibu tidak suka bicara panjang lebar. Kata ibu, bicaralah
yang praktis, straight to the point, jangan
bertele-tele.
Waktu terus berlalu, ibunya mengirim pesan kalau baru bisa menelpon
pukul 5 sore. Jamal bahkan harus berebut dengan temannya yang semestinya
mendapat jatah telponpada jam itu. Namun, ketika anak itu sudah mau mengalah,
ibu tidak juga telepon. Ingin rasanya jamal menangis, tapi ia malu.
“Aku kan anak lelaki, tidak boleh
menangis.” Diruang TU itu, jamal akhirnya tertidur. Ketika terbangun menjelang
jam 10 malam, tetap belum ada telpon untuknya. Dengan gontai, ia melangkah ke
kamarnya.
Pukul 11 malam ibunya menelpon, tapi
jamal tak diperkenankan keluar oleh kakak pembina. Lagipula jamal sudah tak
lagi semangat menunggu telpon ibu. Ia terlanjur sedih. Padahal, ia tahu persis,
ibu punya 3 ponsel yang selalu full
charge dan pulsanya tak pernah habis. Jamal bingung, apa ibu tak ingat
kalau beliau punya anak yang bernama jamal?
Jamal masih tetap memandang ibu dengan
sendu. Ibunya terlihat canggung, mungkin tak tahu harus bicara apa dengan
anaknya tersebut. Yang jamal inginkan, pengakuan sayang ibu kepada dirinya,
yang sudah dua tahun ini menuntun ilmu dipesantren.
“Bu, apakah Ibu masih ingat dengan
bagaimana memeluk aku? Dulu sebelum ibu menjadi direktur utama sebuah bank, ibu
sering membuatkan ku kolak dan bubur kacang hijau. Ah, aku tak perlu kolak atau
apapun. Aku hanya sangat rindu pelukan ibu. Sekali ini saja bu, satu menit
saja, dan tolong jangan cepat-cepat melepas pelukan bila ada telepon masuk ya
bu?” bisik jamal dalam hatinya.
Ibunya masih
terdiam...
0 komentar:
Posting Komentar