Selasa, 03 Desember 2013

Trimakasih Mamah....

Diposting oleh Unknown di 22.05 0 komentar



Terima Kasih Mah...


Seiring usia ku bertambah, mamah tak lagi mendongengi tentang kelinci favorit ku waktu aku kecil. Tetapi tetap ada unsur cerita, tapi kini kami lebih banyak berdiskusi. Tentang banyak hal, impian, masa lalu, juga harapan. Jika menemukan topik yang asyik, kami tak ubahnya dua sahabat yang larut dalam obrolan seru.
        “Kenapa mamah tidak bekerja?” tanya suatu malam sambil menatap langit-langit kamar. Bertiga bersama naura, kami tidur bersebelahan. Hampir selalu begitu sejak anak-anak mamah masih bayi. Papah yang memiliki jam kerja sore hingga malam, tidak memiliki banyak kesempatan untuk meninabobokan aku dan naura.
“Karena mamah lebih memilih untuk memiliki banyak waktu untuk mba sasha dan de naura,” jawab mamah sambil tersenyum. Aku  menoleh ke arah mamah sambil tersenyum. Wajahnya berbinar. Inilah ekspresi ku jika tertarik dengan sebuah topik, seolah menyiratkan pesan, ayo, lanjutkan ceritanya  mah.
        “Dulu mamah pernah melamar kerja dan diterima, waktu mbak sasha masih umur 3 tahun”. Mamah pun mulai berkisah tentang “dongeng” di masa lalu. “Tapi karena kerjanya dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore, mamah tidak mau. Nanti pas mba sasha bangun engga ada mamah. Waktu mba sasha sarapan, juga gak ada mamah, mamah enggak bisa antar mba sasha ke sekolah. Mamah sedih kalo enggak bisa temani mba sasha”.
“Tapi aku kan sekarang sudah besar, mah?”
“Tapi de naura kan, masih kecil? Kalau mamah kerja dek naura nanti sama pembantu, mba sasha memperbolehkan?”
        Sebelumnya kami telah diskusi tentang lebih dan kurangnya jika anak-anak diasuh pembantu. “Aku enggak mau ah mah, de naura diasuh oleh pembantu,” jawabnya cepat.
        “Mamah juga, makannya mamah sementara waktu engga bekerja supaya bisa selalu temani mbak sasha dan de naura dari pagi sampai malam”.
Sasha terdiam. “Terima kasih mah,” kata ku kemudiam sambil tersenyum. Mamah terharu.
        “Kalau saja kamu tidak menahanku disini, mungkin aku sudah mengelilingi 1/3 dunia mah” gumam papah disuatu kesempatan. “Menahanmu? Bukankah aku selalu memotivasimu untuk mencoba banyak hal baru diluar sana?” tanya mamah lugu.
Papah hanya tersenyum. “Terima kasih sudah tidak bekerja ya mah, Terima kasih sudah selalu ada untuk kami,” kata papah.
        Mamah hanya tersenyum dan berucap denga lembut “Tak apa aku belum mengunjungi 1/3 dunia, ketika yang lain telah menjelajahi separuh bahkan seluruhnya. Aku bahagia disini, bersamamu, bersama anak-anak. Bersama kalian duniaku terasa utuh”.

Pelukan Ibu

Diposting oleh Unknown di 21.54 0 komentar


Pelukan Ibu...
Jamal menatap ibunya dengan wajah sendu, namun ibunya bergeming.
Jamal pun ikut terdiam. Ia bingung mau bicara apa dengan ibu yang terakhir menemuinya lima bulan lalu. Ibu terlalu sibuk untuk menjenguknya. Bahkan, dua bulan ini rapor mid-term  diambil oleh sekertaris ibu yang wajahnya mirip dengan ibunya itu.
Jamal teringat, dua bulan lalu ia menjerit senang ketika dari kejauhan ia melihat sosok ibunya memasuki kelasnya, saat itu ia sedang bermain basket dilapangan, namun, sampai tengah hari ia masih terus bermain basket sendirian, sementara sebagian besar temanya sudah pulang dengan ibu, ayah atau keluarga yang menjemput. Itu bukan ibunya. Jamal pasrah, ibu parti tidak akan datang menjemputnya.
        Masih terekam juga dalam benak jamal, ibunya yang sibuk itu sering lupa untuk menelpon ke asrama.
        Ibu janji akan menelpon pukul 4 sore. Jamal sudah bersiap dari siang. Ia menyusun kata-kata yang akan ia sampaikan. Ada 10 hal yang ia catat, namun kemudian ia menyusun ulang daftar tersebut agar tidak terlalu panjang. Ibu tidak suka bicara panjang lebar. Kata ibu, bicaralah yang praktis, straight to the point, jangan bertele-tele.
Waktu terus berlalu, ibunya mengirim pesan kalau baru bisa menelpon pukul 5 sore. Jamal bahkan harus berebut dengan temannya yang semestinya mendapat jatah telponpada jam itu. Namun, ketika anak itu sudah mau mengalah, ibu tidak juga telepon. Ingin rasanya jamal menangis, tapi ia malu.
        “Aku kan anak lelaki, tidak boleh menangis.” Diruang TU itu, jamal akhirnya tertidur. Ketika terbangun menjelang jam 10 malam, tetap belum ada telpon untuknya. Dengan gontai, ia melangkah ke kamarnya.
        Pukul 11 malam ibunya menelpon, tapi jamal tak diperkenankan keluar oleh kakak pembina. Lagipula jamal sudah tak lagi semangat menunggu telpon ibu. Ia terlanjur sedih. Padahal, ia tahu persis, ibu punya 3 ponsel yang selalu full charge dan pulsanya tak pernah habis. Jamal bingung, apa ibu tak ingat kalau beliau punya anak yang bernama jamal?
        Jamal masih tetap memandang ibu dengan sendu. Ibunya terlihat canggung, mungkin tak tahu harus bicara apa dengan anaknya tersebut. Yang jamal inginkan, pengakuan sayang ibu kepada dirinya, yang sudah dua tahun ini menuntun ilmu dipesantren.
        “Bu, apakah Ibu masih ingat dengan bagaimana memeluk aku? Dulu sebelum ibu menjadi direktur utama sebuah bank, ibu sering membuatkan ku kolak dan bubur kacang hijau. Ah, aku tak perlu kolak atau apapun. Aku hanya sangat rindu pelukan ibu. Sekali ini saja bu, satu menit saja, dan tolong jangan cepat-cepat melepas pelukan bila ada telepon masuk ya bu?” bisik jamal dalam hatinya.
Ibunya masih terdiam...




About Me

 

Wanita Berkarya Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting